Dalam hadits dibawah ini disebutkan kondisi Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang
sudah tua, buta, tidak ada penuntun, dan rumahnya pun jauh dari masjid,
dan banyak binatang buas, tapi ia tetap diwajibkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menghadiri shalat berjama’ah di
Masjid.
———————-
Tentunya
akan lebih barakah lagi bilamana mampu merealisasikan tujuan
dibangunnya masjid. Salah satu fungsi dibangunnya masjid adalah
menegakkan shalat berjam’ah di dalamnya. Ternyata, bila kita menengok
kondisi masjid-masjid yang ada terlihat shaf (barisan) ma’mum semakin
maju alias sepi dari jama’ah. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak
menegakkan shalat berjama’ah lima waktu secara penuh.
Masjid
merupakan sebuah tempat suci yang tidak asing lagi kedudukannya bagi
umat Islam. Masjid selain sebagai pusat ibadah umat Islam, ia pun
sebagai lambang kebesaran syiar dakwah Islam. Alhamdulillah…, kaum
muslimin pun telah terpanggil untuk bahu-membahu membangun masjid-masjid
di setiap daerahnya masing-masing. Hampir tidak dijumpai lagi suatu
daerah yang mayoritasnya kaum muslimin kosong dari masjid. Bahkan
terlihat renovasi bangunan masjid-masjid semakin diperlebar dan
diperindah serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat
menarik dan membuat nyaman jama’ah. Semoga semua usaha ini menjadi amal
ibadah yang barakah karena mengamalkan hadits Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam:">مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ بَنَى اللهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ Barangsiapa yang membangun masjid karena mengharap wajah Allah, niscaya Allah akan bangunkan baginya semisalnya di al jannah.” (Al Bukhari no. 450)Tentunya
akan lebih barakah lagi bilamana mampu merealisasikan tujuan
dibangunnya masjid. Salah satu fungsi dibangunnya masjid adalah
menegakkan shalat berjam’ah di dalamnya. Ternyata, bila kita menengok
kondisi masjid-masjid yang ada terlihat shaf (barisan) ma’mum semakin
maju alias sepi dari jama’ah. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak
menegakkan shalat berjama’ah lima waktu secara penuh. Kondisi ini
seharusnya menjadikan kita tersentuh untuk bisa berupaya dan ikut serta
bertanggung jawab dalam mamakmurkan masjidPara pembaca, dalam edisi kali ini akan dimuat pembahasan keutamaan dan
kedudukan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Semata-mata sebagai
nasehat untuk kita bersama dalam mewujudkan kemakmuran masjid-masjid
yang merupakan pusat syiar-syiar Islam dan mewujudkan hamba-hamba Allah
subhanahu wata’ala yang benar-benar beriman kepada-Nya.Memakmurkan Masjid Ciri Khas Orang-Orang Yang Beriman Ciri khas yang harus dimiliki oleh orang yang beriman adalah tunduk dan
patuh memenuhi panggilan-Nya. Ciri khas ini sebagai tanda kebenaran dan
kejujuran imannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, bila Rasul menyeru kalian
kepada sesuatu yang dapat menghidupkan hati kalian…” (Al Anfal: 24)Allah
subhanahu wata’ala telah memanggil kaum mu’minin untuk memakmurkan
masjid. Siapa yang memenuhi panggilan Allah subhanahu wata’ala ini, maka
Allah subhanahu wata’ala bersaksi atas kebenaran dan kejujuran iman dia
kepada-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hanyalah
yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kiamat.” (At Taubah: 18)Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i (bermadzhab Syafi’i) seorang ulama’ besar dan ahli tafsir berkata: “Allah subhanahu wata’ala bersaksi atas keimanan orang-orang yang mau memakmurkan masjid.” (Al Mishbahul Munir tafsir At Taubah: 18)Sesungguhnya
termasuk syi’ar Islam terbesar adalah memakmurkan masjid-masjid dengan
menegakkan shalat berjama’ah. Bila masjid itu sepi atau kosong dari
menegakkan shalat berjama’ah pertanda mulai rapuh dan melemahnya
kebesaran dan kemulian dakwah Islam.Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di MasjidBerikut ini beberapa keutamaan mendatangi shalat berjama’ah di masjid, diantaranya:1. Mendapat naungan dari Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamatRasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ،
وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي
الْمَسَاجِدِ …Tujuh
golongan yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (kiamat) yang
tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa
yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya,
seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun alaihi)
2. Mendapat balasan seperti haji
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ المُحْرِمِ
“Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima
waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang
berhaji yang memakai kain ihram.” (HR. Abu Dawud no. 554, dan di hasankan oleh Asy Syaikh Al Albani)
3. Menghapus dosa-dosa dan mengangkat beberapa derajat (Lihat HR. Muslim no. 251)
4. Disediakan baginya Al Jannah (Lihat H.R. Al Bukhari no. 662 dan Muslim no. 669)
5. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendirian (Lihat HR. Al Bukhari no. 645-646)
Hukum Shalat Berjama’ah
Para
pembaca, di dalam Al Qur’anul Karim Allah subhanahu wata’ala
memerintahkan untuk menegakkan shalat secara berjama’ah. Yang
menunjukkan hukum shalat berjama’ah adalah perkara yang wajib (fardhu).
Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): ”Dirikanlah shalat dan keluarkan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
Ibnu
Katsir seorang ulama besar yang bermadzhab Asy Syafi’i dalam kitab
tafsirnya, menyatakan bahwa ayat di atas dijadikan dalil oleh mayoritas
ulama tentang kewajiban menghadiri shalat berjama’ah. Karena Allah
subhanahu wata’ala memerintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang
ruku’, yang artinya shalatlah secara berjama’ah. (Lihat Al Mishbahul
Munir, Al Baqarah: 43)
Lebih
tegas lagi, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya untuk tetap menegakkan
shalat berjama’ah walaupun pada saat perang berkecamuk, yang dikenal
dengan shalatul khauf. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan
bila engkau menegakkan shalat ditengah-tengah mereka (para shahabatmu)
maka hendaklah salah satu kelompok diantara mereka shalat bersamamu
sambil membawa senjata-senjatanya. Bila mereka telah sujud maka
hendaklah mundur dan datang kelompok lainnya yang belum shalat untuk
shalat bersamamu sambil tetap waspada sambil membawa
senjata-senjatanya…. (An Nisaa’: 102)
Ayat
diatas mempertegas tentang hukum shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain.
Kalau sekiranya shalat berjama’ah hukumnya sunnah (mustahab) saja, maka
keadaan mereka sangat pantas mendapatkan udzur (keringanan) dari shalat
berjama’ah, dan kalau sekiranya fardhu kifayah Allah subhanahu wata’ala
akan menggugurkan kewajiban shalat berjama’ah pada kelompok kedua. Namun
Allah subhanahu wata’ala tetap memerintahkan kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh shahabatnya (baik kelompok
pertama dan kedua) untuk menyelenggarakan shalat berjama’ah.
Demikian
pula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk
shalat berjama’ah. Malik bin Al Huwairits radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku
menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu rombongan kaumku.
Kami bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah orang yang pengasih
dan lemah lembut. Tatkala beliau melihat kerinduan kami untuk pulang,
beliau berkata: ‘Pulanglah kalian, beradalah ditengah-tengah mereka,
ajarilah ilmu dan shalatlah. Bila telah tiba waktu shalat maka hendaklah
salah satu diantara kalian adzan dan jadikanlah orang yang paling
dewasa sebagai imam.”
Hadits
di atas menunjukkan shalat berjama’ah merupakan perintah Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam itu pada asalnya adalah wajib untuk ditunaikan.
Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Pernah
seorang buta menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata:
‘Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya aku tidak
memiliki penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Dia meminta keringanan
dari Rasulullah untuk tidak menghadiri shalat berjama’ah, maka beliau
pun memberi keringanan baginya. Namun manakala orang tadi mau pergi,
beliau memanggilnya, lalu beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
‘Apakah kamu mendengar adzan? Orang itu pun menjawab: ‘Ya.’ Akhirnya
beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun berkata: ‘Penuhilah panggilannya
(shalatlah ke masjid).’ (H.R. Muslim no. 653)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan orang tadi adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum akan tetapi dengan lafadz: “Wahai
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya aku ini buta,
rumahku jauh, aku memiliki penuntun namun tidak cocok denganku, (dalam
riwayat lain: Sesungguhnya di Madinah banyak binatang buas dan
membahayakan) apakah aku mendapat keringanan untuk shalat di rumahku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Apakah kamu mendengar
adzan. Dia menjawab: ‘Ya.’ Akhirnya beliau berkata: ‘Aku tidak menemukan
suatu keringanan bagimu.” (H.R. Abu Dawud no. 542, 548)
Cobalah perhatikan kondisi
Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang sudah tua, buta, tidak ada penuntun, dan
rumahnya pun jauh dari masjid, dan banyak binatang buas, tapi ia tetap
diwajibkan untuk menghadiri shalat berjama’ah.
Demikian
pula yang memperjelas dan mempertegas kewajiban shalat berjama’ah
adalah larangan dan ancaman dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa udzur.
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang
yang enggan menghadiri shalat berjama’ah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
وَ
الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَب
ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً
فَيَؤُمُّ النّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفُ إِلَى رِجَالٍ فَأَُحَرِّقُ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk
mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintah untuk menegakkan shalat dan
adzan, dan aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku
keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat
berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (HR. Al Bukhari no. 644)
Orang
yang sengaja meninggalkan shalat berjama’ah tanpa udzur akan ditutup
hatinya dari rahmat Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجَمَاعَةَ، أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Sungguh
hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah
atau pasti Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan menutup hati-hati
mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai”. (HR. Ibnu majah no. 794, lihat Ash Shahihah no. 2967 karya Asy Syaikh Al Albani).
Bahkan
meninggalkan shalat berjama’ah dikhawatirkan telah tumbuh pada dirinya
sifat kemunafikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ
“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh) dan isya’.” (HR. Al Bukhari no. 657)
Bila
seseorang enggan shalat berjama’ah shubuh atau isya’ saja dikhawatirkan
munafik, bagaimana bila ia enggan mengahadiri shalat berjama’ah selain
shubuh dan isya’? Padahal menghadiri shalat berjama’ah selain pada kedua
waktu tersebut lebih mudah (ringan).
Al
Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa yang berpendapat bahwa shalat
berjama’ah itu fardhu ‘ain dari kelompok Muhadditsin (para ahli hadits)
pengikut Al Imam Asy Syafi’i antara lain Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Al Mundziri, dan Ibnu Hibban. (Lihatlah Fathul Bari hadits no. 644)
Al
Imam Al Mundziri menukilkan dari Al Imam Abu Tsaur, bahwasanya dia
pernah berkata: “Bahwa shalat berjama’ah adalah wajib, tidak ada
keringanan bagi siapa saja yang meningalkannya kecuali dengan udzur.”
(Al Ausath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf 4/138).
Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i sendiri berfatwa dalam kitabnya “Al Umm” Bab Shalatul Jama’ah 1/277: “Tidaklah
aku memberi keringanan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan shalat berjama’ah dan enggan untuk mendatanginya, kecuali
dengan udzur (alasan yang diterima oleh syari’at –pent).”
Para
pembaca, ketahuilah bahwa yang diwajibkan untuk menghadiri shalat
berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki yang sudah baligh saja.
Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di
masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya.
Akhir
kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati orang-orang
yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh orang-orang
yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal
‘Alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar